Wednesday 23 February 2011

1 Oktober


       6.40 AM.
       Di pagi yang cerah itu, Pak SofyanKepala Sekolahmenyambut para murid yang berhamburan datang karena sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup. Ia memakai seragam guru berwarna hijau dan tampak sangat gagah dengan sepatunya yang mengkilap. Ia lebih tampak seperti seorang perwira dibanding guru. Ia tersenyum ramah, menyalami para murid yang baru datang di depan gerbang.

       Bintang tergesa-gesa berlari menuju gerbang dan akhirnya sampai juga ia pada tangan si Bapak Kepala Sekolah, kemudian ia mencium tangan itu dan bergegas masuk. Dilihatnya orang-orang di belakang yang masih cukup banyak, maka ia pun mengendurkan urat syarafnya agar berjalan lebih rileks. Ia menghembuskan nafas. Dan tepat sekali, sesaat setelah ia masuk, Pak Sofyan memerintahkan Babe untuk menutup gerbang. Dan anak-anak yang masih di luar pun berlarian masuk. Ramai sekali suasana di depan gerbang setiap pagi.
       Ia menyadari ada orang di belakangnya yang menyapanya pelan dan menarik tasnya. Ia menoleh. Dilihatnya sesosok anak berkaca mata kecil, yang agak culun. Setelah menyapa, anak itu kemudian menyamakan jalannya supaya berada di samping Bintang. Bintang pun melempar senyum.
       ”Gue memikirkan kata-kata Ibu Latifah kemaren,” ujarnya.
       ”Apa?” Tanya Bintang.
       ”Bukan hanya penurunan sifat manusia, gue rasa DNA bisa membawa ingatan induk kepada turunannya.
       ”Gue gak pernah denger itu.” Ujarnya, sambil mengernyitkan dahi.
       ”Setelah gw searching lewat internet, gw nemu kasus bahwa hal itu pernah terjadi,” Dendy terus berdiplomasi. Alis Bintang merengut, Ia melihat Dendy penuh dengan pandangan heran. ”Ada seorang anak yang pernah memimpikan pertemuan kedua orang tuanya tepat sebelum ibunya meninggal. Itu jarang terjadi kan?”
       ”Ya, ya, jarang terjadi,” Bintang mengangguk-angguk cepat, meng-iya-kannya  supaya cepat selesai. ”Itu cuma terjadi satu dibanding sejuta.” Ujarnya sambil terus berlalu.
       ”Gue pengen neliti kasus ini lebih dalam, dan mungkin gue pengen konsultasikan hal ini ke Bu Latifah.”
       Bintang tersenyum lebar. ”Mungkin lebih baik kita tanyakan ke Pak Ustad daripada ke Guru Biologi, Dendy,” Ujarnya tak dapat menahan tawa. Dibiarkannya Dendy mengemukakan teorinya itu, sementara pandangannya entah kemana. Secara tak sengaja ia melihat ke arah beranda, gadis manis itu—Hanasedang berbincang-bincang bersama temannya. Hana juga melihat padanya. Bintang segera mengalihkan pandangannya, dan tertunduk malu.
       ”Hey, lo dengerin gua kan?” Dendy bertanya.
       ”Oh, ya, ya,” jawab Bintang cepat. Ia sebenarnya tidak tahu apa yang terakhir diucapkan Dendy. Mereka menuju tangga. “Em, Dendy... Kayeknya lo satu-satunya anak yang bener-bener merhatiin pelajaran Biologi kemaren, ya.”
       “Oh, ya?” Tanyanya polos.
       Bagi Dendy, nilai akademis adalah segala-galanya. Dan dia sangat mencintai pelajaran bukan main. Bersama Dendy tidak ada pembicaraan lain selain seputar pelajaran, pembicaraannya tidak jauh-jauh dari ilmu pengetahuan dan sains. Bisa dibayangkan jadi apa ia kelak. Mungkin akan menjadi profesor atau penemu abad modern. Tapi ia bagus bila anak-anak lain membutuhkannya untuk mencontek PR, atau untuk konsultasi pelajaran lainnya.
                    ®

       Jam istirahat itu Bintang habiskan dengan makan jeruk yang ia bawa dari rumah. Ia mengupas jeruk itu pelan-pelan dan melahapnya. Seperti biasa, Pasha terkulai malas di bangkunya sambil mendengarkan MP3. Ia hampir tertidur dengan kaki yang ia naikkan di atas meja. Cukup hebat untuk bisa tertidur sambil mendengarkan lagu-lagu british rock.
       Entah darimana asalnya, Onay sudah berdiri saja di depan meja mereka. Dia memperhatikan cara makan Bintang, dan diam entah apa yang dipikirkannya. Bintang hanya diam, melihat ke arahnya, seperti bocah lugu. Ia mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan dan yang akan dilakukan si anak usil itu. Mereka saling melihat. Onay berjalan ke arahnya bak seorang tentara Amerika. 
       Bintang tahu anak itu akan menghampirinya. Ia menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak enak. Dan tiba-tiba saja, Onay berhasil mencapai tempat duduk Bintang, dan apa yang dilakukannya? Ia menarik pipi Bintang sambil tertawa terbahak-bahak.
       Pasha terbangun mendengar raungan teman sebangkunya... Dia melepaskan headset kemudian melihat Onay yang terbahak-bahak, bingung.
       ”Coba lihat! Dia makan jeruk!” Ujar Onay sambil tertawa.
       Pasha melihat ke arah Bintang, dengan ekspresi bingung seperti orang bangun tidur. “Apa yang salah dia makan jeruk?“
       ”Coba liat dia makannya kayek gimana, lucu amad!” Serunya sambil mengamati Bintang. Dia menggeletakkan kedua tangannya pada meja Bintang dan menundukkan badan ke arahnya sambil tersenyum, seperti memandang anak kecil dengan penuh rasa tertarik.
       Pasha melihat ke arah Bintang. Dan Bintang menoleh ke arahnya, lalu menggeleng, sambil mengeluarkan biji jeruk dari mulutnya. Ia seolah mengatakan, 'ngapain sih nih anak?'.
       Sejenak Pasha heran, kemudian melihat ke arah Onay dengan pandangan jijik. ”Gue jadi takut sama lu, Nay!”
       Onay terdiam sejenak, kemudian bertanya, ”Maksud lu?”
       Suasana kemudian menjadi hening. Onay kelihatan seperti berpikir sebentar dan Pasha masih melihatnya dengan perasaan jijik. Tiba-tiba Onay menyamber jeruk itu dan membawanya keluar, kemudian berseru, ”Keluar yuk Sha!”
       Onay berlari keluar kelas, sementara Pasha mengikuti ajakannya. Dan Bintang, dia hanya keluar karena jeruknya diambil.
       ”Eh, balikin jeruk gue!!” Seru Bintang padanya yang bersandar pada tembok beranda.
       ”Alah, jeruk kok makan jeruk,” ujarnya.
       ”Alah, suka-suka gw~!” Ujar Bintang.
       "Alah~!" Pasha ikut-ikutan.
       Bintang berusaha keras merebut jeruk itu, tapi Onay memainkannya. Ia menjauh-jauhkan jeruk itu dengan tangannya agar Bintang tidak bisa meraihnya.
       Pasha terlihat cuek dengan MP3-nya. Bintang pun akhirnya berhasil merebut jeruk itu. Tapi itu karena perhatian Onay teralihkan.
       ”Woi, woi, liat, liat, ada artis mau lewat!” Serunya.
       Pasha dan Bintang menoleh ke arah lorong yang dilihat Onay. Mereka melihat ada 4 orang cewek yang modis-modis berjalan menyusuri lorong. Mereka berjalan berjejer empat-empatnya, serasa jalan milik mereka berempat. Mereka seolah tak menyadari kalau lorong itu sempit untuk bisa dilalui berempat. Rambut mereka terurai serasa bintang iklan shampooo!
       Begitu lewat, Onay berseru, ”Woooww....Wooooo....Wooww....” dia membuka lebar lengannya, namun mengenai Pasha dan Bintang yang berada di samping kanan-kirinya karena mereka lewat. Pasha dan Bintang hanya tertawa melihat genk cewek-cewek bodoh itu. Cewek-cewek itu cuma diam, merasa keren. Mereka adalah: Sera, Dinda, Widi, dan Amel.
       ”Wow.. kayeknya mereka merekrut anggota baru.” Ujar Pasha sambil melihat ke arah mereka yang sudah lewat itu.
       ”Iya... Kayeknya Dinda sama Sera udah punya temen sekarang.” Ujar Onay. Mereka bertiga langsung tertawa cukup keras.
       Kelihatannya, Widi dan Amel sudah menjelma menjadi cewek-cewek tenar seperti Sera. Seolah tingkatan mereka udah naik. Akhir-akhir ini mereka memang jadi cukup dekat. Yah, wajar karena sudah 3 bulan mereka sekelas. Sera dan Dinda dipertemukan karena mereka berdua populer. Atau mempopulerkan diri. Dan semenjak mereka kelas satu, mereka sudah saling kenal walau tidak sekelas. Mereka suka nongkrong bareng di kafe depan sekolah. Namun, tidak dengan Widi dan Amel. Mereka sebelumnya benar-benar belum saling kenal. Baru di kelas 2 ini mereka saling kenal. Dan cukup dekat. Dan membentuk genk anak-anak necis.
       Sera memang terlihat nakal dan lenje, tapi dia memang cantik. Dulu dia aktif ikut menjadi model majalah remaja. Tapi sebenarnya dia suka jadi bahan tertawaan Pasha, Onay dan Bintang, dengan meniru gerakan dan lagaknya 'Sera'—seolah sudah mempunyai label sendiri. Tapi Sera tidak mempermasalahkan karena Pasha yang melakukannya.
       Bel pun berbunyi. Tidak terasa waktu istirahat 30 menit itu.  Pasha, Bintang dan Onay pun terpaksa harus mengakhiri pembicaraan mereka seputar rencana sesudah sepulang sekolah ini. Mereka berencana untuk pergi ke internet cafe kesukaan mereka untuk main game online baru.
       Sehabis bel tadi, hanya tersisa jam-jam pelajaran yang membosankan, yaitu history. Berkali-kali Onay menguap selama pelajaran. Karena sudah siang hari, dan kondisi perut mereka yang kenyang sehabis makan di jam istirahat tadi, ditambah lagi ceramah monoton yang disampaikan oleh Ibu Endang ini, maka mereka pun tidak dapat berkonsentrasi di jam pelajaran ini. Pasha melipat kedua tangannya di dada dan menundukkan kepala, tertidur dengan tenang. Walau tidur, dia masih menjaga diri supaya tetap 'cool'.
       "kenapa sih nih orang tidur aja harus kayek gini?" pikir Bintang.
       Sera memain-mainkan pensilnya tidak jelas, sedangkan Dinda tertidur pulas. Pulas sekali. Dinda menjatuhkan kepalanya begitu saja di atas meja yang disanggah dengan kedua tangannya. Wajahnya menghadap ke tembok. Bintang berkali-kali mengedipkan mata, tidak dapat duduk dengan tenang. Berkali-kali juga dia melihat ke arah Pasha yang tidur dengan tenang. Bisa-bisanya dia tidur setenang ini.
       Meskipun begitu, guru ini membiarkan saja murid-muridnya yang jenuh selama pelajarannya. Ia masih meneruskan ceritanya kesana kemari. Dan tentunya ada satu murid yang pasti sangat disukainya, Dendy. Dia memang sangat tahan banting. Pelajaran apapun dia kuat. Hanya satu yang tidak dia kuasai, yaitu olahraga.  
       Pukul 15 tepat.
       Waktunya pulang. Pasha, Bintang dan Onay mampir dulu ke internet cafe favorit mereka sebelum pulang, yaitu De' Host. Dengan masih berseragam sekolah. Warnet De’ Host bergaya sangat stylish, memiliki full layar LCD, tempat makan, dan smoking area. 
       Pasha dan Onay memang tidak bisa menahan diri untuk tidak berisik kalau main game. Pasha berteriak-teriak terus seperti: ”Bintang... Depan gua tang!" atau "Bintang, kemana lo!!” Namun dia tidak pernah mendapat respon dari anak itu. Dia menengok ke arah Bintang. Dan melihat kalau pandangan anak itu masih ke layar komputer yang dia pake.
       Karena merasa aneh, Pasha melepas headset dan menghampirinya. Dan akhirnya dia tahu kenapa daritadi Bintang diem aja. Ternyata anak itu tidak main game yang sama dengan dia. Pasha duduk di sampingnya, dan menyahut ”Audition?” Tanyanya.
       Bintang masih serius memainkan game itu, sampai beberapa detik baru dia sadar Pasha di sampingnya. ”Eh, Lo Sha,” sapanya penuh rasa tak bersalah.
       Pasha mendorong kepalanya. ”Lo kalo off bilang-bilang donk,” gerutunya.
       ”Lah, masa lo gak tahu gue udahan. Kan keliatan!” Ujar Bintang membela diri.
       Pasha melihat ke layarnya, melihat avatar yang sedang berdance ria. Avatarnya lucu. “Oh… Kalo ini gue juga punya ID nya…”
       “Ya udah, ayo main sama gua..”
       Pasha kembali ke tempatnya, kemudian beralih game. Hal itu membuat Onay bertanya-tanya karena dia jadi main sendirian. Tetapi dia meneruskan permainan game tembak-tembakan itu tanpa mereka.
       Sepulang dari game center itu, Bintang terus bercerita soal game itu, dan dia mengatakan kalau ingin meng-install game dance online itu di rumahnya. Akhirnya Pasha membawa Bintang ke rumahnya untuk meminjamkan CD installannya. Pasha termasuk pecinta game, baik yang online maupun konsol. Dari situlah dimulai semuanya. Aksi-aksi dari simulasi game yang akan mereka bawa ke dunia nyata...
·         ®

0 comments:

Post a Comment