Sunday 13 February 2011

Jakarta, 30 September

       Bintang berjalan menyusuri lorong sambil memakan gorengan yang baru dibelinya dari kantin. Dia berjalan mendekati kelas dengan plat bertuliskan XI IPA 1 mencantol pada atas tembok di samping kelas itu. Dia melihat Pasha yang sedang bermalas-malasan di mejanya, dan dia menghampirinya. Dia merogohkan sesuatu dari kantong celananya ketika sampai di mejanya.



       ”Nih oleh-oleh dari Bali,” ujarnya, sembari meletakkannya di atas meja. Barang yang berupa kantong itu diuwel-uwel berantakan karena dimasukkan ke dalam kantong celananya. Pasha terbangun dan melihat ke benda itu, matanya masih terlihat mengantuk. Sembari menguyah gorengan, Bintang mengamati ekpresi wajah Pasha penasaran, mengharapkan adanya perubahan di raut wajahnya. Ia lalu masuk ke dalam meja dan duduk di bangkunya sambil tetap mengunyah ”Eh iya, sekalian hadiah ulang tahun. Gue beli di Joger. Gak murah lho harganya.”

       Pasha tertawa, ”Jadi loe bener-bener dengerin kata-kata gua?”

       "Iya... Gue tahu lah selera lo.. Malu lah gue kalo beli barang murah..."

       Pasha membuka kantong kresek itu dan mendapati label harga masih mencantol di kotak itu. "Lima puluh ribu", gumamnya tanpa ekspresi.

       Bintang tersentak.

       "Emang mahal ya harganya..." Cengir Pasha.

       Bintang yang tersentak gorengan menyadari kalau dia benar-benar lupa mencopot harganya. "Yaa lo jangan samakan diri lo dengan gua donk..." ujarnya sembari meneruskan makannya. Ia mengunyah sambil cengar cengir menahan malu.

       Pasha membuka lagi kotak itu. Dan isinya adalah: wow sebuah jam tangan! Dia berpikir sejenak. "Emang mahal banget ya jam tangan harga 50ribu..." komentarnya.

       "Jangan dilihat isinya donk, yang penting pengorbanannya. Butuh perjuangan besar tuh buat ngeluarin uang segitu di Bali."

       Dengan gaya cowok, Bintang menyalami dan mendekapkan bahunya, ”Happy birthday ya boy...” Ucapnya dengan mulut sibuk mengunyah gorengan..

       "Iyaa.. Makasi yak!" Ucap Pasha sembari menggulung kotak ke keadaan semula, dan memasukkannya ke dalam tas ransel—yang ia letakkan di belakang punggungnya— dan kemudian memasang headset, bersandar pada kursinya sambil menyetel musik.

       Bintang tak habis-habisnya memakan gorengan itu , tangannya sibuk memainkan makanan dengan pandangan kosong.."Cye, 16 Tahun nih...,” Ujarnya dengan pandangan yang tak lepas dari pisang goreng. Kemudian tersenyum sungging, melirik ke arah Pasha.

       ”Wah, keren juga jam tangannya!”  Pasha terkagum senang menerimanya. Pandangannya berbinar, dan kelihatannya ia serius mengatakannya.

       Bintang tersenyum, dan tertawa, ”Tadinya pengen gua beliin celana dalem”

       Pasha tertawa, ”Sialan!” Ujarnya. Lalu diam sejenak dan kemudian berpikir sesaat, kembali menoleh ke arahnya, ”Kenapa gak lo beliin?”

       Bintang tertawa geli, dan memukul Pasha dengan sikunya.

         ®

       Hari ini adalah hari pertama mereka masuk. Jam pelajaran terasa begitu membosankan bagi anak-anak kelas itu, karena baru hari pertama mereka sudah belajar normal, padahal mereka masih mengharapkan waktu libur lebih panjang lagi. Seperti biasa, di pelajaran apapun Pasha tidak pernah jauh dari MP4-nya. Dia mendengarkan musik dengan headset di telinganya di pelajaran Biologi, sedangkan Bintang memperhatikan serius selama pelajaran sambil memakai kacamatanya seperti anak-anak pintar.

       ”Kromosom merupakan benda halus yang berbentuk lurus seperti batang atau bengkok, yang terdapat pada inti sel”, Ibu Latifa menerangkan sambil menggerak-gerakan penggarisnya ke white board bergambar kromosom ciptaannya. Seluruh struktur makhluk hidup dikondensasi oleh gen ini. Pada setiap manusia terdapat sekitar 30-40 ribu DNA. Pada tiap satuannya terdapat beragam informasi. Informasi itu diturunkan turun temurun dari orang tua ke anaknya.

       Seluruh informasi itu mengalir begitu saja dari telinga Pasha, tanpa pernah menyangkut di otaknya sedikit pun. Sementara Bintang tak pernah lupa untuk mencatat. Dia bahkan sungguh menikmati menggambar-gambar kromosom sendiri yang tidak anak-anak lain lakukan.

       ”Ssshh” Perhatian Bintang teralih oleh desisan Sera. Dia menengok ke arah Bintang dengan centil, dan menyerahkan sehelai kertas yang dilipat-lipatatau lebih tepatnya sebuah suratdengan cepat, lugas, dan mengagetkan. Pandangannya berani, dan ia menyampaikannya dengan gaya bak majikan menyuruh sang pembantu, ”Kasih temen sebelah lo!”

       Bintang meraihnya dan mengoper surat itu kepada Pasha. Pasha yang sejak tadi sudah tidak konsentrasi belajar, menoleh dan memperhatikan kertas di atas mejanya itu. Ia pun membukanya, diam sebentar, dan tertawa kecil. Bintang sempat menoleh ke arahnya, tapi ia kurang peduli. Ia lebih memedulikan gambar-gambar di depan kelas itu, dan kembali memusatkan perhatiannya ke papan tulis.

       Tak terasa jam pelajaran pun usai. Bel berbunyi kencang dan murid-murid bernafas lega, sebagian bersorak. Ibu Latifa, Guru Biologi itu menghadap ke murid-murid, mereka yang bersorak pun tiba-tiba diam, lupa kalau guru mereka masih ada di depan. Ibu setengah baya itu hanya menggeleng-geleng kepala. Dinda, yang sejak tadi bosan dengan pelajaran itu menahan tawa, kemudian nyengar-nyengir tidak jelas, melancarkan rayuan mautnya supaya tak kena marah.

       Bintang, Onay, dan Pasha berjalan keluar kelas. Onay berada di tengah-tengah merangkul bahu mereka. Dia suka sekali berada di dekat orang dan dia gampang dekat dengan orang lain karena ia tidak segan-segan untuk menyentuh orang untuk mengakrabkan diri. Ia tipe orang yang suka mendekati orang  secara fisik kepada siapa saja, termasuk perempuan. Sejak tadi Onay dan Pasha banyak bicara mengenai surat yang diterima Pasha tadi.

       “Terus gimana sha? Ciyee…” ujar Onay membuat Pasha malu.

       Yup, tampaknya Pasha baru mendapat pengalaman yang biasa didapat orang ketika beranjak SMA, yaitu c.i.n.t.a. Sepertinya cewek-cewek sekarang lebih banyak yang agresif, jadi cewek mulai pdkt lebih dulu kayeknya udah wajar aja. Pasha hanya mengeleng-geleng kepala pelan dan tersenyum tanpa memberikan komentar apa-apa.

       Mereka bertiga bersandar di beranda seperti biasa. Sementara Pasha dan Onay asyik berbicara, Bintang hanya mendengarkan mereka sambil tersenyum. Bintang sesaat menoleh ke bawah dan melihat seseorang melambaikan tangan padanya.  Onay yang sedang asyik menjejali Pasha dengan banyak pertanyaan mengalihkan perhatian karena melihat Bintang tersenyum sambil melambaikan tangan. Ia pun melihat ke bawah untuk mengetahui kepada siapa Bintang melambai.

       ”Eh, dia melambai ke Bintang?” Tanya Onay.

       ”Hah?” Pasha terheran, dan melihat apa yang dimaksud oleh Onay. Dia melihat Hana di bawah menyeberangi lapangan.

       Untuk sesaat mereka berdua tidak yakin kalau Hana memanggil Bintang, namun kemudian Hana berkata sambil terus berjalan walau tidak begitu terdengar, tetapi dari pelafalannya sepertinya ia mengucapkan, ”Gak pulang?”

       Onay dan Pasha menoleh untuk mencari tahu kepada siapa lagi cewek itu menegor. Dan ternyata memang benar, ke arah Bintang. Dan Bintang membalas dengan gelengan kepala dan berkata pelan “Entar.” Mereka melihat kagum kepada Hana, walau dia sebenarnya hanya berjalan biasa saja.  Namun tampak sangat indah sekali dilihat, sampai akhirnya dirinya tak kelihatan lagi karena ia tampaknya menuju ke arah aula yang berada tepat di bawah mereka berdiri.

       Onay dan Pasha diam sejenak. Dan kemudian menggodanya. “Cyeeee….”

       Bintang menoleh. “Apaan?”

       “Apaan, Apaan!” Onay mencibir, “Ciieeee elah…. Udah main Da-da, Da-da,“ Kini giliran Bintang yang diganggu oleh Onay. Onay menggelitik Bintang dan Pasha pun ikut-ikutan. Bintang menahan tangan mereka dengan geli.

       Mereka pun pulang ke rumah bersama-sama. Karena hari ini ada Onay, jadi mereka mampir dulu ke warung internet untuk main CS, Cross Fire, atau game sejenis lainnya. Ritual itu biasa mereka lakukan bertiga sebelum pulang ke rumah.

         ®
     
       “Aku Pulang...“

       Bintang membuka pintu rumahnya dan perlahan-lahan masuk. “Assalamu’alaikum..“ ucapnya lalu kemudian menutup pintu depan.

       Rumahnya terbuat dari kayu dan sederhana. Suasana rumah itu sangat amat sepi karena jarang dihuni orang. Dia melihat-lihat ke dalam untuk mencari orang, namun sepertinya tidak ada siapapun di dalam. Terus kenapa pintunya gak dikunci? Pikirnya. Dimasukkan sepatunya ke dalam rak di pinggir dekat pintu depan, dan dia masuk ke dalam rumah sambil merangkul tas dengan sebelah tangannya. Ia terlihat sangat capek.

       Ia beranjak untuk ke tangga dan naik ke atas dimana kamarnya berada. Namun betapa kagetnya ia begitu melihat di ruang tivi, tepat di sebelah tangga kayu itu, adiknya sedang santai-santai di atas sofa sambil menonton tivi. Ia menghela napas, dan sekali lagi mengucapkan, ”Assalamu’alaikum.”

       Adiknya, Nino, hanya diam dan menggumam sedikit, ”Hmm...” baru kemudian menjawab, ”Kum salam.” namun pandangannya tetap tertuju pada tivi. Bintang melihat acara apa yang sedang ditontonnya. Ternyata acara reality show yang kini lagi populer, ’Cinta Segitiga’. Sebuah reality Show dimana sang peserta mencari tahu soal pasangannya.

       Bintang mengerutkan bibir. Konyol. Pikirnya. Cuma sebuah acara pembohongan massal, karena keliatan banget kalo pesertanya akting, sandiwaranya gak bagus. Dan banyak lagi hal yang ’gak masuk akal’ secara logika.

       Bintang lalu naik ke atas dengan lelah dan masuk ke kamarnya yang berada dekat dari tangga di lantai 2. Dia masuk dan menggeletakkan tasnya di atas kasur yang berantakan, namun cukup nyaman untuk seukuran kamar cowok. Bintang menidurkan diri di atas kasur dan tertidur.
                

       Nino terus berada di depan tivi sejak tadi, sampai pukul 9 malam ini. Ia mendengar suara pintu pagar yang dibuka oleh seseorang. Itu pasti ibunya. Pikirnya. Namun ia masih saja cuek dan ia malah beralih ke PSP-nya.
       ”Assalamu’alaikum...” salam Ibunya.

       Seperti biasa, Nino hanya menjawab singkat dengan ketus, ”Kum salam.”

       Wajah Ibunya terlihat sangat capek setelah seharian bekerja. Murdhiani, atau Ibu Dhian, adalah pekerja tangguh. Ia menghidupi anak-anaknya seorang diri setelah ditinggal mati oleh suaminya 3 tahun yang lalu. Akibatnya, ia harus bekerja keras untuk bisa menyekolahkan Bintang dan Nino sampai universitas nanti. Itu cita-citanya, membahagiakan kedua anaknya. Namun dampak sampingnya, Nino menjadi kurang keurus dan ia merasa kurang diperhatikan. Bintang dan Nino adalah kakak beradik yang jauh berbeda secara sifat. Kalau Bintang tidak terlalu mempunyai perasaan emosional yang dalam, Nino mengatasi rasa kesepiannya dengan mencari teman sebanyak-banyaknya dan menjadi liar untuk seukuran anak kelas 1 SMP.

       Dhian mendekati Nino, membelai lehernya yang basah oleh keringat, dan memperhatikan apa yang dilakukannya. Ia berusaha sebaik mungkin untuk menjadi seorang Ibu. Dan Ia cukup merasa kecewa atas apa yang dilakukan Nino.

       Ia melihat jam dinding di atas TV. ”Sejak kapan kamu main game?” Tanyanya tegas.

       ”Barusan.” Jawab Nino singkat.

       ”Mana Bintang?”

       ”Di atas.”

       ”Kamu udah kerjain PR?”

       ”Udah.” Jawab Nino bohong. 

       Ia sebenarnya lelah menghadapi sikap anaknya itu, dan dia segera menuju ke atas untuk melihat keadaan Bintang. Dia membuka pintu kamar Bintang dan melihatnya berada di depan komputer, sedang membuka situs pertemanan yang sedang populer, facebook.

       Bintang bahkan tidak menyadari kalau Ibunya masuk ke kamar dan mendekat, sampai ia merasakan belaian tangan di pundaknya. Bintang menoleh.

       ”Eh, mama.” sapanya.

       Bu Dhian memandang Bintang dengan mata lelah. Bintang adalah tumpuan harapan baginya. Dia ingin melihat Bintang tumbuh besar dan menjadi orang yang sukses. Dia ingin melihat kedua anaknya bahagia, dan ia berusaha untuk bisa dekat dengan kedua anaknya. Namun, ia merasa kalau ia sama sekali tidak mengetahui tentang anaknya, bagaimana kehidupan sekolahnya, siapa teman-temannya, dan ia merasa pedih sekali. Terutama Bintang, entah mengapa ia ingin sekali tahu tentang kehidupannya, apakah ia baik-baik saja. Tapi ketika ditanya, tentu saja Bintang akan mengucapkan baik-baik saja. Tapi ia mengharapkan informasi lebih, lebih dari sekedar jawaban ’baik-baik saja’.

       Bintang menoleh sesaat ke Ibunya, kemudian kembali ke komputernya lagi. Ia memasang status, memberi komen, dan sebagainya. Sementara Ibunya membelai rambutnya penuh kasih sayang.

       ”Bintang...”

       ”Iya, Ma..” sahutnya.

       ”Kamu udah ngerjain PR?”

       ”Ini lagi dikerjain”, jawabnya, ”Sambil buka komputer,” Ia menoleh ke arah Ibunya, tersenyum, kemudian kembali mengerjakan PR matematika dan membiarkan komputernya menyala.

       Ibu Dhian kemudian duduk di kasur di belakang Bintang dan memperhatikannya. Ia tampak seperti memikirkan sesuatu. ”PR kamu cuma itu aja Bintang?” Tanyanya.

       Bintang memutar kursinya agar bisa terlihat Ibunya. ”Nggak. Ini tadi ada Tugas Biologi, suruh cari di internet, tapi udah aku kerjain. Nih.” Ia menunjukkan kertas print-an tugas biologinya pada Ibunya. Ia melihat Ibunya yang lelah, bingung untuk mengatakan sesuatu.

       ”Kamu udah makan?” Tanya Ibu Dhian.

       Bintang menggeleng.

        ”Ayuk, makan dulu. Mama beli kepiting tadi.”

       Ekspresi wajah Bintang berubah, ia terlihat senang dan berkata, ”Oh... Ya, udah nanti aku ke bawah!” Ia kemudian kembali ke komputernya, dan Ibunya pun keluar kamar, di ujung pintu ia menanti anaknya itu dan mengingatkannya lagi, namun Bintang tampaknya masih ingin mengetik sesuatu dulu, Ibunya pun turun ke bawah, sementara Bintang yang tidak sabar untuk makan, mengupdate status facebooknya menjadi, ’MAKAN KEPITING’.

         ®
     
      
       Dunia facebook kini memang sedang booming. Dimana-mana, tidak hanya anak muda sekarang, seluruh lapisan masyarakat di segala lapisan umur kini mempunyai facebook. Facebook kini masuk ke dalam list the most important thing yang harus dimiliki anak-anak muda sekarang. Beda banget sama friendster, soalnya facebook mempunyai fungsi tidak hanya sebagai bahan hiburan atau ajang penunjukkan diri, tapi juga sebagai lahan bisnis buat orang-orang perkantoran. Hebat sekali Mark Zuckenberg bisa membuat site fenomenal macam facebook padahal usianya baru 23. Jadi di usia berapa ia memulai membuat facebook?

       Malam itu Hana hanya lagi iseng-isengnya melihat-lihat wall-nya, men-search teman-teman lamanya, dan  membuka-buka group untuk mencari teman-teman seangkatannya di sekolah. Dia duduk dengan melipatkan kakinya ala cewek, dan menopangkan kepala pada tangannya di atas meja, sambil menggerakkan mousenya dengan malas. Dilihatnya daftar member teman-teman satu sekolahnya dan pandangannya teralih pada salah seorang anak cowok, Bintang Priyoga. Ia menegakkan kepala, kemudian bergumam, ”Ini kan Dia, Bintang Priyoga.”

       ”Hana...” Panggil Ibunya dari bawah.

       Hana langsung menoleh ke arah pintu, menyadari dirinya dipanggil oleh Ibunya. Ia  meng-add Bintang untuk menjadi daftar temannya, kemudian langsung menuju ke bawah, ke ruang makan tempat Ibunya memanggil.

       Di meja makan Ibunya sudah menunggunya, dan dari ekspresinya kelihatannya ia akan segera marah. Hana yang menyadari hal itu, menundukkan kepala ke bawah, malas melihat Ibunya. Ia segera mengambil piring dengan enggan dan mencaduk nasi yang berada di meja makan.

       ”Kamu kok daritadi belum makan sih,” gerutu Ibunya, ”Udah jam segini...”

       ”Iya, iya... Ni mau makan,” Hana memotong Ibunya yang tampak ingin memberinya ceramah singkat agar ia tidak sering lupa makan. Ia pun segera mengambil lauk di atas meja makan, dan saking banyaknya ia sampai bingung ingin mengambil yang mana, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengambil ayam rica-rica. Ia pun memulai makan dengan santai. Sedangkan Ibunya hanya menontonnya makan.

       ”Tadi Indah telfon,” ujar Ibunya memberi informasi. Hana terkejut. Ia seperti sadar akan sesuatu. ”Katanya kalian mau adain pertunjukan di sekolah. Pertunjukan apa?”

       Hana seperti akan tersedak. ”Em, bukan apa-apa. Cuma pertunjukan teater biasa.”

       Ibunya tersenyum. ”Kamu jangan bohong. Modern dance kan?”

       Hana menggeleng. ”Bukan kok. Pertunjukan teater.” Ia masih mengelak.

       ”Bukannya kamu padus?” Desak Ibunya.

       Hana pun mengambil air minum dan meneguknya untuk membuatnya merasa lebih tenang. Setelah selesai ia pun mulai berkata, ”Iya, Ma. Terus kenapa? Kan masi lama..”

       ”Mama kan udah bilang, jangan ikut ekskul kayek gitu!” Ibunya mulai menggertak.  ”Kamu inget gak dulu, pertunjukan kamu tuh kayek apa. Gagal kan? Dan kamu nangis-nangis. Lagian, papa kamu juga gak setuju kamu ikut ekskul itu. Gak bener! Kalo ikut dance gitu kan kamu make baju-baju kayek gitu.. Aduhh..” Gerutu Ibunya

       Hana pun kembali mengingat masa-masa SMP-nya. Ia menengadahkan kepalanya pada kedua tangannya di atas meja dan menutup wajah, seperti hendak menangis. Sedangkan Ibunya meninggalkan kursi dan menyematkan kata-kata terakhir, ”Udah, pokoknya kamu jangan ikut ekskul dance lagi!” Ibunya pun segera pergi. Hana mengingat kembali saat-saat SMP nya.

            
Beberapa tahun yang lalu...

       Di tengah sibuknya menjelang pesta perpisahan SMP,  Hana yang mengambil bagian pertunjukan dance di acara perpisahan itu, tengah sibuk-sibuknya latihan agar pertunjukan bisa berjalan lancar. Oleh karena itu ia sering kehilangan waktu untuk pulang bareng Faris, pacarnya.

       Siang itu adalah waktunya Hana latihan untuk pertunjukan nanti dan ia melihat Faris menunggunya di luar aula. Hana begitu terkejut melihat sikap Faris hari itu, ia tersenyum ke arahnya dan melambai. Faris membalasnya. Beberapa waktu setelah gerakan awal, Hana meminta waktu istirahat kepada sang koreografer. Dan ia pun keluar menghampiri Faris.

       Hana mengambil air minum dan meneguknya untuk menghilangkan rasa haus. Mulutnya yang sedang meneguk air terlihat lucu karena pipinya yang tembem. Hana kemudian menoleh ke arah Faris dengan manis. Saat itulah ia mendengar pernyataan yang mengejutkan.

       ”Kita putus aja ya..” Ujar Faris dengan jelas, langsung, tanpa basa basi dan embel-embel kata sebelumnya.

       Hana sedikit terkejut. Ia memperhatikan wajah Faris lebih dekat untuk meyakinkannya bahwa ia tidak salah dengar. ”Kenapa?” Tanyanya.

       Faris menundukkan kepala, lalu kemudian menatapnya lagi. ”Kita... Udah jarang punya waktu sama-sama lagi..” Faris memberikan alasan. ”Aku akhir-akhir ini sibuk dengan ekskul futsal aku, dan kamu juga lagi sibuk banget buat pertunjukan nanti. Kita... Udah 2 minggu gak pulang bareng kan?”

       Hana memperhatikannya, diam. ”Ohh..” Ia bergumam pelan sampai hampir tidak terdengar, ”Ya udah,” lanjutnya perlahan-lahan, lalu memiringkan kepala dan tersenyum manis, ”Gak apa-apa,” ucapnya tegar. Ia tahu bahwa bukan hal itu penyebab pasti Faris meminta putus. ”Kita gak bisa memaksakan diri kan?”

       Faris hanya terdiam mendengar ucapan Hana, namun terlihat agak terkejut. Ia memandang Hana seolah tak percaya. Hana terlihat sangat manis dan tegar untuk mengucapkan salam perpisahan, ”Oke, Gud Bye...” Ujar Hana sambil merangkul tas olahraganya dan kembali ke aula membelakangi Faris. Faris hanya melihat dan terdiam tak bisa mengatakan apa-apa.   
   
      ®

0 comments:

Post a Comment