Monday 7 February 2011

Kuta, 23 September

       
       Pemandangan Pantai Kuta di Senja itu begitu mempesona. Derai ombak yang indah berkejar-kejaran menghampiri pesisir, persis seperti anjing-anjing kecil yang berlarian mengejar tulang yang dilempar oleh sang majikan. Beberapa pemuda pemudi bersenda gurau, dan beberapa pasangan yang sedang bermain asmara menyusuri pantai. Berpelukan, terkadang sang mempelai pria berbicara begitu dekatnya hinggga hampir menyentuh pipi. Menggambarkan indahnya masa-masa muda, apalagi kalau dihabiskan di suasana pantai se-romantis ini. Di tengah-tengah waktu kebahagiaan yang dilalui orang-orang itu, Bintang hanya duduk di pesisir mengamati laut. Ia hanya memakai kaos putih yang sederhana dan celana pendek yang biasa dipakai oleh orang-orang pantai, sambil duduk dengan melipatkan kakinya ke atas. Pikirannya kosong. Dilihatnya adiknya yang sedang bermain air di pantai bersama teman-teman barunya. Bintang tidak habis pikir. ”Bagaimana mungkin. Baru beberapa hari disini ia sudah punya teman baru?” Pikirnya.


       
       Senja perlahan-lahan turun hingga membuatnya bosan, Ia pun memutuskan untuk kembali. Bintang beranjak dari tempat keramatnya yang sejak tadi ia singgahi selama berjam-jam, dan dengan malas ia memutuskan untuk pergi. Sautan itu terdengar tepat saat ia akan beranjak pergi. Seseorang menyapanya, membuatnya memberhentikan langkah dan menengadahkan kepalanya ke depan agar terlihat jelas.

       ”Lho, Bintang ya?” kata gadis itu. Gadis itu sedang berjalan menyusuri pantai sendirian. Dan Bintang hanya melihatnya bingung. Baru kemudian beberapa detik, ia menyadari  siapa orang yang ada di depannya itu.

       ”Lho, lo kan...” ucapnya pelan, ”Lo kan...” diulanginya lagi ucapannya itu.

       Perkataannya langsung disamber oleh gadis itu dan ia berkata, ”Ehm... Hey, kita satu sekolah kan? Kamu Bintang anak kelas IPA 1 kan?” tebaknya cepat, dan kemudian ia melanjutkan, ”Dulu kelas X.2?”

       Bintang mengatupkan mulut, tidak menyangka bahwa terkaannya tepat. Dan dia pun berusaha untuk membalasnya, ”Lo... anak dance itu kan?” Tebaknya, namun ia tetap berusaha menyebutkan namanya, “Lo…”

       “Gue Hana,” jawabnya cepat, “Kelas XI IPS 1”. Hana segera memotongnya untuk memberi tahu Bintang yang tampaknya tidak tahu namanya. Ia memandang Bintang, seperti pandangan belas kasihan atau semacamnya.

       “Oh…” Bintang berpikir sejenak, ”Ya,” Tukas Bintang cepat. “Gue tau kok. Lo... Terkenal.”

       ”Haha...” Hana tertawa, ”Nggak juga ah,” Hana tampak senang mendengar jawabannya tapi ia tertawa geli melihat keluguan Bintang. Mereka pun berdiam sejenak, berpikir, dan kemudian menyadari mengapa mereka bisa bertemu di tempat itu. ”Oh ya, liburan?” Tanya Hana.

       Bintang menggeleng. ”Ehm...Iya, lebih tepatnya pulang kampung.” Jawabnya canggung.

       Hana melihatnya terkejut. ”Jadi kampung halaman lo disini? 

       Bintang mengangguk cepat seperti anak anjing. Dan Hana hanya tertawa kecil… kemudian mengganguk pelan. ”Lo...” Bintang mulai bertanya, ”lagi liburan disini?”

       ”Iya... sama keluarga. Gue nginep di cottage itu.” Hana menunjuk pada salah satu cottage di belakangnya yang agak cukup jauh untuk terlihat langsung. Di belakangnya Bintang melihat adik-adik Hana yang berlarian kecil. Mereka masih baru menginjak umur sekitar 7 tahun. Dan mungkin bersama beberapa sepupunya.

       Hana pun mengajak Bintang untuk ikut bersamanya, menyantap makan malam bersama keluarga besarnya, namun Bintang menolaknya karena sungkan. Hana menarik tangannya untuk memaksa ikut bersamanya. Dia mengatakan bahwa ini bukan suatu kebetulan biasa. Pelajar dari Jakarta, bisa sama-sama bertemu di Bali yang jaraknya ratusan kilometer. Kalau bertemu di suatu mall di Jakarta mungkin itu bisa terjadi, tapi Hana menganggap bahwa ini sudah digariskan Tuhan. Bintang sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Tapi Bintang akhirnya menerima tawarannya. Hana tampak senang mendengarnya dan ia ingin segera mengenalkan temannya yang tidak sengaja bertemu di Pulau Dewata itu, ke keluarganya.
          
       Dilihat secara keseluruhan, tampaknya Hana adalah seorang gadis dari keluarga yang cukup berada. Mereka menyewa cottage eksklusif dan menu makan malamnya itu bukanlah menu biasa. Hana dan keluarganya makan malam di tempat yang terbuka di pinggir pantai, namun tidak banyak orang. 

       Hana cukup cantik. Tidak. Dia sangat cantik, begitu yang dipikirkan oleh Bintang. Tidak heran dia ikut ekskul dance, dimana tempatnya cewek-cewek cantik dan populer yang ikut club itu. Hana hanya berpakaian biasa, sama seperti Bintang. Tetapi pakaian ’biasa’-nya itu tidaklah berharga biasa. Barang-barang yang dipakainya bermerk pakaian distro yang cukup bagus, walaupun modelnya umum dipakai anak-anak muda. Mata Hana agak sipit, namun tidak terlalu sipit. Lebih tepatnya agak membengkak, namun indah dan lucu. Kulitnya putih sekali, dan dilihat secara tidak langsung dia tampak seperti gadis keturuan Tionghoa, tetapi ia sebenarnya berketurunan Sunda. Rambutnya hitam, lurus, sebahu. Dan tingginya sekitar 160 cm.

       Bintang tidak bisa dibilang jelek. Dia sederhana dan terlihat cuek, sehingga kurang memperhatikan penampilan. Jadinya, dia terlihat seperti bocah pantai kampung yang gak keurus. Rambutnya terlihat cokelat kemerahan karena sering terkena matahari. Matanya cokelat, begitu juga dengan kulitnya yang cokelat terbakar matahari. Namun sepertinya apabila di make over sedikit, dia bisa terlihat seperti pangeran-pangeran yang ada di film-film korea.   
       ”Ayo dimakan, Bintang!” ujarnya pada Bintang yang masih saja melihat makanan-makanan di depannya dengan bingung. Hana mulai mengambil nasi dan sekali lagi menyuruh Bintang untuk mengambil sambil tersenyum manis. Bintang masih saja diam. Dengan kesal Hana pun mengambilkan nasi untuknya karena ia tak kunjung-kunjung bergerak. Dan dia mengambilkan lauk untuk Bintang berupa cumi saus tiram karena dianggapnya Bintang suka, sedangkan dia mengambil untuk dirinya sendiri kepiting sambil menggumamkan pelan, ”Aku suka sekali kepiting”.

       ”Aku juga suka kepiting”, tiba-tiba Bintang berbicara.

       Hana menoleh padanya. ”Kenapa gak bilang daritadi?” Ujarnya. Hana pun menyuguhkan padanya kepiting itu, dan Bintang mengambilnya.

       ”Ohh... Jadi ini temennya Hana...” Ujar Ibunda Hana yang tampak sangat anggun menggunakan dress, dan memperkenalkan kepada anggota keluarga lain. Hana yang lupa memperkenalkan akhirnya berkata sendiri kepada tantenya, omnya, dan ayahnya, juga ke saudara-saudaranya.

       ”Ah, temen apa temen...” Goda sepupunya, Danes, yang kelihatannya beberapa tahun lebih muda dari mereka.

       ”Temen!! Orang gak sengaja ketemu tadi” Sergah Hana. Mereka semua terlihat heran dengan pertemuan yang tak sengaja itu, dan menanyakan bagaimana Bintang bisa ada disini. Hana memotong sebelum Bintang sempat menjawab, ”Dia kampung halamannya disini...” jawabnya ketus.

       ”Oh, dimana?” Tanya Ibunda Hana.

       ”Di Munggu, sekarang lagi jalan-jalan aja ke Kuta, ada sodara disini!” jawab Bintang mengumbar senyum manisnya. Matanya menyipit lucu..

       ”Kok bisa ya ketemu disini. Oh ya, Bintang satu kelas sama Hana?” Tanyanya lagi.

       Bintang menoleh ke arah Hana. Hana hanya diam meneguk segelas air putih sambil melihat ke arah Bintang. Bintang pun menjawab, ”Nggak, tapi aku kenal kok sama Hana. Hana kan anak dance.”

       Hana yang sedang minum tersentak kaget mendengar ucapan Bintang, dan dia mencubit pinggang Bintang. Bintang terkejut.

       ”Anak dance?” Tanya Ibunda Hana heran.

       ”Ehm, nggak, maksudnya Bintang...” Hana menyela kelihatan sedikit gugup, ”Maksudnya Bintang padus. Kok dance sih, Bintang?” Hana melirik ke Bintang dan mengedap ngedipkan mata. Gerak gerik Hana membuat Bintang terheran-heran. 

       Bintang mengangguk, namun kelihatan bingung, dan kemudian ia menjawab, ”Eh, iya... Padus. Salah ngomong.” Bintang tertawa lepas.

       Ibunda Hana tampak curiga melihat gerak gerik mereka berdua, tapi kemudian ia melupakannya. Ia pun menyuguhkan Bintang minuman karena tampaknya Bintang tidak beranjak untuk mengambil minuman, dan pertanyaan-pertanyaan pun mengalir dengan ramah, diiringi oleh desiran ombak yang tenang, melewati malam itu yang sejuk oleh angin malam. Walau udara dingin, namun malam itu terasa begitu hangat oleh tawa keluarga itu. Bintang tampak sangat senang melewati malam itu, tawanya yang jarang keluar terdengar. Begitu juga dengan Hana. Mereka melewati waktu-waktu itu dengan canda dan tawa, hingga malam yang gelap memisahkan mereka.

0 comments:

Post a Comment